Selasa, 10 November 2009

BAHAN PENGAWET (Preservatives)

Menurut Dr. Sri Durjati Boedihardjo, ada beberapa alasan mengapa para pembuat makanan mengawetkan produk mereka. Salah satunya karena daya tahan kebanyakan makanan memang sangat terbatas dan mudah rusak ( perishable). Dengan pengawetan, makanan bisa disimpan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan dan ini jelas-jelas sangat menguntungkan pedagang.
Alasan lain, beberapa zat pengawet berfungsi sebagai penambah daya tarik makanan itu sendiri. Seperti penambahan kalium nitrit agar olahan daging tampak berwarna merah segar. Tampilan yang menarik biasanya membuat konsumen jatuh hati untuk membelinya.
Menurut pakar gizi dari RS Internasional Bintaro Banten, secara garis besar zat pengawet dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. GRAS (Generally Recognized as Safe) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun sama sekali.
2. ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen.
3. Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi, alias berbahaya seperti boraks, formalin dan rhodamin B. Formalin, misalnya, bisa menyebabkan kanker paru-paru serta gangguan pada alat pencernaan dan jantung. Sedangkan penggunaan boraks sebagai pengawet makanan dapat menyebabkan gangguan pada otak, hati, dan kulit.

BAHAN-BAHAN PENGAWET YANG DIIZINKAN
• asam benzoat,
• asam propionat,
• asam sorbat,
• sulfur dioksida,
• etil p-hidroksi benzoat,
• kalium benzoat,
• kalium sulfit,
• kalium bisulfit,
• kalium nitrat,
• kalium nitrit,
• kalium propionat,
• kalium sorbat,
• kalsium propionat,
• kalsium sorbat,
• kalsium benzoat, • natrium benzoat,
• metil-p-hidroksi benzoat,
• natrium sulfit,
• natrium bisulfit,
• natirum metabisulfit,
• natrium nitrat,
• natrium nitrit,
• natrium propionat,
• nisin, dan
• propil-p-hidroksi benzoat.


BAHAN PENGAWET YANG DIIZINKAN NAMUN KURANG AMAN
Beberapa zat pengawet berikut diindikasikan menimbulkan efek negatif jika dikonsumsi oleh individu tertentu, semisal yang alergi atau digunakan secara berlebihan.
• Kalsium Benzoat
Bahan pengawet ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri penghasil toksin (racun), bakteri spora dan bakteri bukan pembusuk. Senyawa ini dapat mempengaruhi rasa. Bahan makanan atau minuman yang diberi benzoat dapat memberikan kesan aroma fenol, yaitu seperti aroma obat cair. Asam benzoat digunakan untuk mengawetkan minuman ringan, minuman anggur, saus sari buah, sirup, dan ikan asin. Bahan ini bisa menyebabkan dampak negatif pada penderita asma dan bagi orang yang peka terhadap aspirin. Kalsium Benzoat bisa memicu terjadinya serangan asma.

• Sulfur Dioksida (SO2)
Bahan pengawet ini juga banyak ditambahkan pada sari buah, buah kering, kacang kering, sirup dan acar. Meski bermanfaat, penambahan bahan pengawet tersebut berisiko menyebabkan perlukaan lambung, mempercepat serangan asma, mutasi genetik, kanker dan alergi.

• Kalium nitrit
Kalium nitrit berwarna putih atau kuning dan kelarutannya tinggi dalam air. Bahan ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada daging dan ikan dalam waktu yang singkat. Sering digunakan pada daging yang telah dilayukan untuk mempertahankan warna merah agar tampak selalu segar, semisal daging kornet.
Jumlah nitrit yang ditambahkan biasanya 0,1% atau 1 gram/kg bahan yang diawetkan. Untuk nitrat 0,2% atau 2 gram/kg bahan. Bila lebih dari jumlah tersebut bisa menyebabkan keracunan, selain dapat mempengaruhi kemampuan sel darah membawa oksigen ke berbagai organ tubuh, menyebabkan kesulitan bernapas, sakit kepala, anemia, radang ginjal, dan muntah-muntah.

• Kalsium Propionat/Natrium Propionat
Keduanya yang termasuk dalam golongan asam propionat sering digunakan untuk mencegah tumbuhnya jamur atau kapang. Bahan pengawet ini biasanya digunakan untuk produk roti dan tepung. Untuk bahan tepung terigu, dosis maksimum yang disarankan adalah 0,32% atau 3,2 gram/kg bahan. Sedangkan untuk makanan berbahan keju, dosis maksimumnya adalah 0,3% atau 3 gram/kg bahan.

Penggunaaan melebihi angka maksimum tersebut bisa menyebabkan migren, kelelahan, dan kesulitan tidur.

• Natrium Metasulfat
Sama dengan Kalsium dan Natrium Propionat, Natrium Metasulfat juga sering digunakan pada produk roti dan tepung. Bahan pengawet ini diduga bisa menyebabkan alergi pada kulit.

• Asam Sorbat
Beberapa produk beraroma jeruk, berbahan keju, salad, buah dan produk minuman kerap ditambahkan asam sorbat. Meskipun aman dalam konsentrasi tinggi, asam ini bisa membuat perlukaan di kulit. Batas maksimum penggunaan asam sorbat (mg/l) dalam makanan berturut-turut adalah sari buah 400; sari buah pekat 2100; squash 800; sirup 800; minuman bersoda 400.

BAHAN PENGAWET YANG TIDAK AMAN
• Natamysin
Bahan yang kerap digunakan pada produk daging dan keju ini, bisa menyebabkan mual, muntah, tidak nafsu makan, diare dan perlukaan kulit.
• Kalium Asetat
Makanan yang asam umumnya ditambahi bahan pengawet ini. Padahal bahan pengawet ini diduga bisa menyebabkan rusaknya fungsi ginjal.
• Butil Hidroksi Anisol (BHA)
Biasanya terdapat pada daging babi dan sosisnya, minyak sayur, *shortening*, keripik kentang, pizza, dan teh instan. Bahan pengawet jenis ini diduga bisa menyebabkan penyakit hati dan memicu kanker.
Antioksidan juga termasuk bahan pengawet. Zat ini ditambahkan untuk mencegah timbulnya bau tengik pada makanan yang mengandung lemak atau minya, seperti minyak goreng, keju, margarine, saus tomat, roti, daging sapi olahan dan sereal. Antioksidan dapat diperoleh secara alami maupun sintesis.
Contoh antioksidan alami antara lain:
• Lesitin
• Vitamin E
• Vitamin C (asam askorbat), merupakan bentukan garam kalium, natrium, dan kalium; digunakan pada daging olahan, kaldu, serta buah kalangan.
Contoh antioksidan sintesis antara lain:
• Butil hidroksianisol (BHA), digunakan untuk lemak dan minyak makanan


• Butil hidroksitoluen (BHT), digunakan untuk lemak, minyak makan, margarin dan mentega.


PENGAWETAN ALAMI

Penggaraman
Salah satu metode pengawetan alami yang sudah dilakukan masyarakat luas selama bertahun-tahun adalah penggunaan garam atau NaCl. Larutan garam yang masuk ke dalam jaringan diyakini mampu menghambat pertumbuhan aktivitas bakteri penyebab pembusukan, sehingga makanan tersebut jadi lebih awet. Prosesnya biasa disebut dengan pengasinan (curing) atau penggaraman (maka lahirlah istilah ikan asin).
Pengawetan dengan garam ini memungkinkan daya simpan yang lebih lama dibanding dengan produk segarnya yang hanya bisa bertahan beberapa hari atau jam saja. Contohnya ikan yang hanya tahan beberapa hari, bila diasinkan bisa disimpan selama berminggu-minggu. Tentu saja prosedur pengawetan ini perlu mendapat perhatian karena konsumsi garam secara berlebihan bisa memicu penyakit darah tinggi (hipertensi).
Pendinginan (Pembekuan)
Metode lain yang dianggap aman adalah pengawetan dengan menyimpan bahan pangan tersebut pada suhu rendah. Suhu di bawah nol derajat Celcius mampu memperlambat reaksi metabolisme, disamping mencegah perkembangbiakan mikroorganisme yang bisa merusak makanan.
Prosedur pengawetan melalui pembekuan ini bisa membuat makanan awet disimpan selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Meski begitu, kualitas makanan yang dibekukan tetap saja berkurang sedikit dibandingkan makanan segarnya. Selain itu, pembekuan juga berpengaruh terhadap rasa, tekstur dan warna maupun sifat-sifat lain dari makanan tersebut.
Pengeringan
Cara lain yang juga kerap dilakukan untuk mengawetkan makanan adalah pengeringan karena air bebas merupakan faktor utama penyebab kerusakan makanan. Semakin tinggi kadar air dalam makanan tertentu, maka semakin cepat proses kerusakannya. Melalui proses ini, air yang terkandung dalam bahan makanan akan diminimalkan. Dengan begitu, mikroorganisme perusak makanan tidak bisa berkembang biak.
Seperti halnya makhluk hidup yang kita jumpai sehari-hari, baik jamur, kuman, maupun bakteri memerlukan air untuk bisa bertahan hidup. Namun agar hasilnya bisa maksimal, proses pengeringan harus berjalan sempurna. Jika tidak, jamur dan mikroba tetap bisa tumbuh pada makanan yang berarti tidak
aman lagi dikonsumsi.

Pengalengan (Canning)
Bahan makanan dipanaskan, kemudian dikemas rapat di dalam kaleng dalam kondisi steril (bebas mikroorganisme). Contohnya pada buah kalengan dan produk susu.
Penyinaran (Iradiasi)
Sinar ultraviolet atau sinar gamma dapat mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan makanan tanpa merusak kualitasnya. []


Formalin sebagai Pengawet Makanan
BEREDARNYA sejumlah makanan yang mengandung formalin telah meresahkan konsumen. Keresahan tersebut sebenarnya sudah lama terjadi. Hal itu terungkap lewat pernyataan pihak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) maupun lewat pemberitaan di media massa. Namun, tindakan pihak yang berwenang terkesan lamban. Padahal, makanan yang mengandung bahan kimia jenis ini ditengarai berdampak negatif pada kesehatan manusia konsumennya.
Sebagaimana ditegaskan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari di Denpasar, Jumat (30/12) lalu, sebenarnya izin penggunaan formalin, yang merupakan kewenangan Departemen Kesehatan, hanya untuk rumah sakit. Departemen ini tidak pernah mengizinkan penggunaan formalin untuk pengawet makanan. Bagaimana formalin sampai di tangan produsen makanan tertentu?
Menurut pengakuan sebuah produsen formalin di Jakarta, pihaknya juga melayani pembeli formalin perorangan. Dari 4.000 ton formalin produksi sebulannya, 1.000 ton di antaranya dipesan perorangan, toko kimia dan industri yang memerlukannya. Ada dugaan, sebagian formalin yang dibeli perorangan itu digunakan untuk pengawet makanan.
Harga formalin relatif murah. Sementara itu belum didapatkan zat pengawet makanan yang relatif lebih sehat dengan harga yang lebih terjangkau pengusaha kecil. Masuk akal jika sebagian Usaha Mikro Kecil dan Menengah dituding menjadi pengguna formalin sebagai zat pengawet makanan. Menurut Menteri Negara Koperasi dan UKM Suryadharma Ali, Jumat lalu, mereka inilah yang terkena dampak langsung begitu isu penggunaan formalin merebak.
Di kalangan konsumen, utamanya konsumen berkantong tipis, memasarkan makanan yang berformalin tak mengalami banyak kendala. Masalahnya, pengetahuan mereka tentang bahaya penggunaan formalin sangat sedikit. Mereka pun memiliki keterampilan terbatas bagaimana cara mendeteksi makanan yang berformalin, dan mana yang tidak.
Jelaslah, masalah penggunaan formalin terkait beragam persoalan. Masalahnya bukan melulu terkait dampak negatif penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya. Masalahnya juga terkait tata niaga perdagangannya, kepastian hukum, tingkat pendidikan masyarakat, serta sikap hidup yang cenderung memilih jalan pintas untuk kepentingan sesaat dan mengabaikan dampak negatifnya yang lebih luas dan berjangka panjang.
Kita sambut positif keberhasilan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang menemukan beredarnya sejumlah makanan yang mengandung formalin. Namun, apa artinya penemuan ini jika tidak ditindaklanjuti? Pihak mana yang harus menindaklanjuti penemuan kasus tersebut?
Persoalan formalin sebagai pengawet makanan hanyalah sebagian dari persoalan penertiban penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya umumnya agar tidak membahayakan konsumen. Persoalan ini bisa saja terjadi kaitannya dengan ramuan untuk kecantikan maupun untuk pengobatan yang proses pembuatannya tidak melalui prosedur yang bisa dipertanggungjawabkan.
Persoalan ini hendaknya membuka mata dan hati kita untuk melakukan tindakan preventif secara holistik. Semua pihak, dari pihak yang memiliki kewenangan di bidang perizinan produksi maupun tata niaga perdagangan dan pendistribusiannya, pihak yang memiliki kewenangan mengawasinya, sampai pihak yang memiliki kewenangan mengusut dan menyidiknya. Bahkan, kalangan ilmuwan pun seyogianya terketuk minatnya untuk menemukan zat pengawet makanan yang tidak berdampak negatif pada kesehatan dan yang terjangkau harganya oleh pengusaha kecil. YLKI sampai di daerah-daerah kita harapkan lebih giat memperjuangkan kepentingan konsumen, dan BPOM pun jangan sampai dikritik Menteri Kesehatan lagi, sebagai bekerja lamban.
Sementara itu, terasa tidak adil jika tudingan hanya ditujukan pada sosok pengusaha kecil sebagai pihak yang menyalahgunakan bahan kimia sebagai pengawet makanan produksinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar